Kebenaran itu Bisa Dilihat dari Arah Sebaliknya
18 Mei 2006 09:10 WIB
“Sekolah di Jerman? Wah, enak dong! Habis lulus, dapat pekerjaan, gajinya Euro!! Punya mobil dan apartemen di Jerman. Wah, hebat!“, seorang teman berkomentar.
Memang, Jerman yang terletak di jantung benua Eropa ini penuh dengan cerita sukses. Inilah salah satu negeri yang makmur, teknologinya tinggi dan sistem sosialnya mapan. Sangat pas bagi yang ingin hidup sejahtera dan modern. Pendek kata, di sini semuanya serba lengkap, teratur, bersih, dan maju.
Tapi nanti dulu. Ternyata di balik dinding kokohnya, ada juga cerita sedihnya. Tak sedikit rakyat Jerman yang merasa langweilig (bosan) dengan keteraturan. Tak cuma itu, mereka juga stres dengan urusan Geld (uang) dan hantu Arbeitslose (pengangguran). Hari-hari diisi dengan tragedi. Ada seseorang yang melabrak tetangganya cuma gara-gara pintu apartemennya berkerenyit, ada Student (mahasiswa) terjun dari lantai delapan asramanya karena gagal ujian atau malah menabrakkan dirinya ke kereta super cepat karena putus cinta, ada yang nyerocos sendirian Bahnhof (stasiun kereta) sambil menenteng sebotol bir, ada ibu yang tak mau direpoti tangisan bayi jadi lebih suka memelihara anjing, ada yang insomnia (penyakit sulit tidur) hanya karena bunyi tetes-tetes hujan di kaca jendela, ada kakek jompo merenung sendirian di Seniorenheim (panti jompo) karena tidak lagi mengurus dan diurus anak cucunya.
Sungguh sangat kontras dengan masa muda mereka yang hidup energik dan bertumpu pada nalar dan ego, tapi....''Tuhan? Wah, mana ada urusan?!'' Pelajaran Religion/Ethik (agama/etika) di sekolah hanya diisi dengan pengenalan dan perbandingan agama-agama. Para siswa boleh memilih agama apa saja dengan dalih demokrasi dan hak asasi manusia. Bagaikan konsumen yang bebas masuk dan keluar supermarket. Janganlah bertanya soal pornografi dan pornoaksi yang kini ramai diperdebatkan di tanah air kita. Di sini semuanya sah-sah saja, asalkan dibungkus dengan label ''hanya untuk usia lebih dari 18 tahun''. Astagfirullah!!
***
Dengan kondisi seperti itu, tidak mengherankan, kalau para ulama seperti Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin lantas menfatwakan adanya tiga syarat bagi seorang muslim untuk bisa bepergian ke negeri yang mayoritas penduduk dan sistem pemerintahannya tidak Islami alias kafir. Tujuan utama fatwa ini semata-mata untuk menjaga iman kaum muslimin. Syaratnya, kaum muslimin itu harus: (1) punya ilmu agama yang kuat untuk memelihara diri dari syubuhat (hal-hal yang meragukan), (2) punya agama yang kokoh supaya tidak terjatuh dalam syahawat (hawa nafsu), dan (3) benar-benar berkepentingan untuk pergi, misalnya untuk berobat, menuntut ilmu yang di negeri sendiri jarang dipelajari, misi diplomatik, dan misi dagang yang memerlukan kerjasama dengan negara tersebut.
Itu baru syarat untuk bepergian. Belum lagi syarat untuk bisa menetap di sana, yaitu (1) merasa aman dengan agamanya di mana kita tidak perlu memusuhi orang nonmuslim yang tidak memusuhi dan menyerang kita (QS Al-Mumtahanah (60): 8) tapi sekaligus tidak akrab dengannya (QS Al-Mujaadilah (58): 22), serta (2) mampu menegakkan dan menghidupkan syiar agama Islam, di mana kita bebas melakukan shalat fardhu, shalat Jum’at, menunaikan zakat, memakai jilbab bagi muslimah, dan sebagainya.
Dalam prakteknya, tidak sedikit di antara kaum muslimin tidak mengetahui atau kurang memahami fatwa ulama itu, apalagi mempraktekkannya.
***
Alhamdulillah, Allah yang Maha Pemurah telah mengizinkan tumbuh kembangnya berbagai majelis taklim di Jerman pada saat ini. Kaum muslimin, mulai dari kota besar hingga distrik terpencil, di sela-sela kesibukannya menyempatkan diri pada akhir pekan untuk melepas dahaga spiritual.
Namun, jangan dikira mereka bebas melenggang dalam urusan ibadah. Hanya segelintir yang bisa menikmati alunan adzan lima kali sehari kecuali dari perangkat lunak Prayer Times di komputer, urusan mencari masjid pun tak semudah menemukan gereja. Belum lagi yang berjenggot lebat atau berjilbab lebar, mereka selalu merasa was-was kalau-kalau kena razia dan diinterogasi Polizei (polisi) atas nama sangkaan terkait dengan teroris. Tidak hanya itu, mereka pun harus super teliti dalam memilih makanan dengan Zutaten (kandungan bahan) yang halal. Mata juga harus dijaga agar tidak memandang obyek yang haram, terlebih-lebih di waktu Sommer (musim panas) di mana banyak orang memamerkan kemolekan badannya berdalih kegerahan.
Begitulah, fatwa ulama telah mereka penuhi. Bahkan tidak hanya itu, pesan para ulama juga mereka laksanakan. Apa pesannya? Agar selama di negeri nonmuslim mereka mengenal dan mempelajari kerusakan aqidah, kezaliman, dan akhlaq penduduknya. Lantas mengapa ini begitu penting? Karena dengan melihat kerusakan itu, tanpa ikut-ikutan rusak, mereka bisa menjadi corong peringatan bagi umat Islam untuk tidak tergiur, terpengaruh, dan kagum kepada bangsa nonmuslim beserta gemerlap kemajuannya. Mereka akan dengan haqqul yaqin membantah ke-iri-an sementara orang bahwa hidup di negeri Jerman itu serba enak, lahir dan batin.
***
Seorang teman sempat berkomentar,''Wah, kamu ternyata bisa menemukan indahnya Islam di negeri yang sedikit muslimnya. Lain di Indonesia, kita susah menemukan Islam padahal menurut statistik banyak muslimnya...''
Benarlah sebuah kata mutiara yang diungkapkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin: ''Sesuatu itu menjadi jelas (benar atau salah, haq atau bathil) dengan mengetahui kebalikannya’’. Atau, bahasa sederhananya: "Kebenaran itu bisa dilihat dari arah sebaliknya.“